BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesultanan Malaka merupakan kerajaan islam kedua di Asia
Tenggara. Kesultanan ini berdiri pada awal abad ke- 15 M. Kerajaan ini cepat
berkembang, bahkan dapat mengambil alih dominasi pelayaran dan perdagangan dari
kerajaan Samudera Pasai yang kalah bersaing. Sejauh menyangkut penyebaran Islam
di Tanah Melayu, peranan Kesultanan Malaka sama sekali tidak dapat
dikesampingkan dalam proses islamisasi, karena konversi Melayu terjadi terutama
selama periode Kesultanan Malaka pada abad ke- 15 M.
Kerajaan Malaka didirikan oleh Parameswara antara tahun
1380-1403 M. Parameswara berasal dari Sriwijaya, dan merupakan putra Raja Sam
Agi. Saat itu, ia masih menganut agama Hindu. Ia melarikan diri ke Malaka
karena kerajaannya di Sumatera yangruntuh
akibat diserang Majapahit. Pada saat Malaka didirikan, di situ terdapat
penduduk asli dari Suku Laut yang hidup sebagai nelayan. Mereka berjumlah lebih
kurang tiga puluh keluarga. Raja dan pengikutnya adalah rombongan pendatang
yang memiliki tingkat kebudayaan yang jauh lebih tinggi, karena itu, mereka
berhasil mempengaruhi masyarakat asli. Kemudian, bersama penduduk asli
tersebut, rombongan pendatang mengubah Malaka menjadi sebuah kota yang ramai.
Selain menjadikan kota tersebut sebagai pusat perdagangan, rombongan pendatang
juga mengajak penduduk asli menanam tanaman yang belum pernah mereka kenal
sebelumnya, seperti tebu, pisang, dan rempah-rempah.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana awal berdirinya
Kesultanan Malaka pada tahun 1402 ?
2. Bagaimana politik dan
kepemerintahan yang dilakukan oleh Kesultanan Malaka?
3. Bagaimana eksisitensi
Kesultanan Malaka dalam menyebarkan Islam ke Nusantara?
1.3 Tujuan
1. Untuk
mengetahui awal berdirinya Kesultanan Malaka.
2. Untuk
mengetahui politik pemerintahan yang dilakukan oleh Kesultanan Malaka
dalam menjalankan roda kepemerintahannya.
3. Untuk
mengetahui eksistensi Kesultanan Malaka dalam menyebarkan islam ke
Nusantara.
1.4 Manfaat
1. Sebagai sumber informasi
dan pengetahuan atas berdirinya Kesultanan Malaka di Nusantara dan dampak terhadap
proses islamisasi yang dilakukan.
2. Sebagai motivasi untuk
melanjutkan perjuangan bangsa di masa sekarang dan selanjutnya dalam bentuk
yang berbeda.
3. Sebagai suatu pengalaman
bangsa atas kejayaan di
masa lampau.
1.5 Metode
Adapun metode yang dilakukan adalah dengan
mengumpulkan buku-buku sumber yang berkaitan dengan “Kesultanan
Malaka” ,
kemudian mencari informasi dari media cetak maupun media elektronik, semisal
koran, televisi, internet dll.
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Awal Pendirian
Kesultanan Malaka
Pembentukan negara Malaka disinyalir ada kaitannya dengan
perang saudara di Majapahit setelah Hayam Wuruk (1360-89 M) meninggal dunia. Sewaktu
perang saudara tersebut, Parameswara, Putra raja Sriwijaya – Palembang turut
terlibat karena ia menikah dengan salah seorang putri Majapahit. Parameswara
kalah dalam perang tersebut dan melarikan diri ke Tumasik (sekarang Singapura) yang berada di bawah
pemerintahan Siam saat itu. Beliau membunuh penguasa Tumasik, yang bernama Temagi dan kemudian
menobatkan dirinya sebagai penguasa baru. Persoalan ini diketahui oleh Kerajaan
Siam dan memutuskan untuk menuntut balas atas kematian Temagi. Parameswara dan
pengikutnya mengundurkan diri ke Muar dan akhirnya sampai di Malaka lalu
membuka sebuah kerajaan baru di sana pada tahun 1402 M. Menurut versi ini,
kedatangan islam ke Malaka terjadi tahun 1406 M, ketika Parameswara menganut Islam
dan mengganti nama menjadi Muhammad Iskandar Syah.
Pengislamannya diikuti oleh pembesar-pembesar istana dan rakyat jelata. Dengan
demikian Islam mulai tersebar di Malaka. Parameswara (Muhammad Iskandar Syah)
memerintah selama 12 tahun.
Baginda mendapati Malaka sebagai sebuah kampung dan meninggalkannya sebagai
sebuah kota serta pusat perdagangan terpenting di Selat Malaka, sehingga
orang-orang Arab menggelarinya sebagai malakat (perhimpunan segala
pedagang). Kitab sejarah melayu (The Malay Annals), turun menceritakan
bahwa raja Malaka, Megat Iskandar Syah, adalah orang pertama di kesultanan itu
yang memeluk agama Islam. Selanjutnya ia memerintahkan segenap warganya baik
yang berkedudukan tinggi maupun rendah untuk menjadi Muslim.
2.2. Periode Pemerintahan
Raja/Sultan yang memerintah di Malaka adalah sebagai
berikut:
1. Parameswara yang
bergelar Muhammad Iskandar Syah (1402—1414)
2. Megat Iskandar Syah (1414—1424)
3. Sultan Muhammad Syah
(1424-1444)
4. Sri Parameswara
Dewa Syah (1444—1445)
5. Sultan Mudzaffar
Syah (1445—1459)
6. Sultan Mansur Syah (1459—1477)
7. Sultan Alauddin Riayat Syah (1477—1488)
8. Sultan Mahmud Syah (1488—1551)
Setelah
Parameswara masuk Islam, ia mengubah namanya menjadi Muhammad Iskandar Syah
pada tahun 1406, dan menjadi Sultan Malaka I. Kemudian, ia kawin dengan putri
Sultan Zainal Abidin dari Pasai. Pada
tahun 1414 Parameswara wafat dan digantikan putranya, Megat Iskandar Syah. Ia
memerintah selama 10 tahun, dan kemudian digantikan oleh Muhammad Syah. Putra
Muhammad Syah yang kemudian menggantikannya adalah Raja Ibrahim (Sri Parameswara Dewa
Syah) yang tidak menganut Islam.
Namun masa pemerintahannya hanya 17 bulan, dan dia mangkat karena terbunuh pada
1445. Saudara seayahnya, Raja Kasim, kemudian menggantikannya dengan gelar
Sultan Mudzaffar Syah atau Sultan Malaka V.
Di bawah pemerintahan Sultan Mudzaffar Syah, Malaka
melakukan ekspansi di Semenanjung Malaya dan pantai timur Sumatera (Kampar dan
Indragiri). Di kemudian hari secara politik, Kesultanan Malaka membangun
hubungan yang baik namun hati-hati dengan Jawa (Majapahit) maupun Siam.
Pada masa pemerintahan raja berikutnya yang naik tahta
pada tahun 1459, Sultan Mansur Syah (Sultan Malaka VI), Malaka menyerbu Kedah
dan Pahang, dan menjadikannya negara vassal. Di bawah sultan yang sama Johor,
Jambi, Siak dan kepulauan Riau-Lingga juga takluk.
Dengan demikian Malaka mengendalikan sepenuhnya kedua
pesisir yang mengapit Selat Malaka. Jatuhnya Siak dibawah pengaruh Malaka
mengakibatkan Malaka dapat mempengaruhi perdagangan emas di hampir seluruh
semenanjung Melayu.
Mansur Syah berkuasa sampai mangkatnya pada 1477. Dia
digantikan oleh putranya Alauddin Riayat Syah. Sultan memerintah selama 11
tahun, saat dia meninggal dan digantikan oleh putranya Sultan Mahmud Syah.
2.3. Politik Negara
Dalam menjalankan dan menyelenggarakan politik negara,
ternyata para sultan menganut paham politik hidup berdampingan secara damai
(co-existence policy) yang dijalankan secara efektif. Politik hidup
berdampingan secara damai dilakukan melalui hubungan diplomatik dan ikatan perkawinan.
Politik ini dilakukan untuk menjaga keamanan internal dan eksternal Malaka. Dua
kerajaan besar pada waktu itu yang harus diwaspadai adalah Cina dan Majapahit.
Maka, Malaka kemudian menjalin hubungan damai dengan kedua kerajaan besar ini.
Sebagai tindak lanjut dari politik negara tersebut, Parameswara kemudian
menikah dengan salah seorang putri Majapahit.
Sultan-sultan yang memerintah setelah Prameswara
(Muhammad Iskandar Syah)) tetap menjalankan politik bertetangga baik tersebut.
Sebagai bukti, Sultan Mansyur Syah (1459—1477) yang memerintah pada masa awal
puncak kejayaan Kerajaan Malaka juga menikahi seorang putri Majapahit sebagai
permaisurinya. Di samping itu, hubungan baik dengan Cina tetap dijaga dengan
saling mengirim utusan. Pada tahun 1405 seorang duta Cina Ceng Ho datang ke
Malaka untuk mempertegas kembali persahabatan Cina dengan Malaka. Dengan
demikian, kerajaan-kerajaan lain tidak berani menyerang Malaka.
Pada tahun 1411, Raja Malaka balas berkunjung ke Cina
beserta istri, putra, dan menterinya. Seluruh rombongan tersebut berjumlah 540
orang. Sesampainya di Cina, Raja Malaka beserta rombongannya disambut secara
besar-besaran. Ini merupakan pertanda bahwa, hubungan antara kedua negeri
tersebut terjalin dengan baik. Saat akan kembali ke Malaka, Raja Muhammad
Iskandar Syah mendapat hadiah dari Kaisar Cina, antara lain ikat pinggang
bertatahkan mutu manikam, kuda beserta sadel-sadelnya, seratus ons emas dan
perak, 400.000 kwan uang kertas, 2600 untai uang tembaga, 300 helai kain khasa
sutra, 1000 helai sutra tulen, dan 2 helai sutra berbunga emas. Dari
hadiah-hadiah tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa, dalam pandangan Cina,
Malaka adalah kerajaan besar dan diperhitungkan.
Di masa Sultan Mansur Syah, juga terjadi perkawinan
antara Hang Li Po, putri Maharaja Yung Lo dari dinasti Ming, dengan Sultan
Mansur Shah. Dalam prosesi perkawinan ini, Sultan Mansur Shah mengirim Tun
Perpateh Puteh dengan serombongan pengiring ke negeri China untuk menjemput dan
membawa Hang Li Po ke Malaka. Rombonga ini tiba di Malaka pada tahun 1458
dengan 500 orang pengiring.
Demikianlah, Malaka terus berusaha menjalankan politik
damai dengan kerajaan-kerajaan besar. Dalam melaksanakan politik bertetangga
yang baik ini, peran Laksamana Malaka Hang Tuah sangat besar. Hang Tuah lahir
di Sungai Duyung Singkep. Ayahnya bernama Hang Machmud dan ibunya bernama Dang
Merdu. Kedua orang tuanya adalah rakyat biasa yang hidup sebagai petani dan
penangkap ikan. Keluarga Hang Tuah kemudian pindah ke Pulau
Bintan. Di sinilah ia dibesarkan. Dia berguru di Bukit Lengkuas, Bintan Timur.
Pada usia yang masih muda, Hang Tuah sudah menunjukkan kepahlawanannya di
lautan. Bersama empat orang kawan seperguruannya, yaitu Hang Jebat, Hang
Kesturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiyu, mereka berhasil menghancurkan
perahu-perahu bajak laut di sekitar perairan dan selat-selat di Kepulauan Riau,
sekalipun musuh mereka jauh lebih kuat. Karena kepahlawanan Hang Tuah dan
kawan-kawannya tersebut, maka Sultan Kerajaan Malaka mengangkat mereka sebagai
prajurit kerajaan. Hang Tuah sendiri kemudian diangkat menjadi Laksamana
Panglima Angkatan Laut Kerajaan Malaka. Sedangkan empat orang kawannya tersebut
di atas, kelak menjadi prajurit Kerajaan Malaka yang tangguh.
Dalam
pengabdiannya demi kebesaran Malaka, Laksamana Hang Tuah dikenal memiliki
semboyan berikut.
1.
Esa hilang dua terbilang
2.
Tak Melayu hilang di bumi.
3.
Tuah sakti hamba negeri.
Laksamana
yang kebesaran namanya dapat disamakan dengan Gajah Mada atau Adityawarman ini
adalah tangan kanan Sultan Malaka, dan sering dikirim ke luar negeri mengemban
tugas kerajaan. Ia menguasai bahasa Keling, Siam dan Cina. Hingga saat ini, orang Melayu masih
mengagungkan Hang Tuah, dan keberadaanya hampir menjadi mitos. Namun demikian,
Hang Tuah bukanlah seorang tokoh gaib. Dia meninggal di Malaka dan dimakamkan
di tempat asalnya, Sungai Duyung di Singkep.
2.4. Malaka Sebagai Pusat Penyebaran Agama
Islam
Sebelum muncul dan tersebarnya Islam di Semenanjung
Arabia, para pedagang Arab telah lama mengadakan hubungan dagang di sepanjang
jalan perdagangan antara Laut Merah dengan Negeri Cina. Berkembangnya agama
Islam semakin memberikan dorongan pada perkembangan perniagaan Arab, sehingga
jumlah kapal maupun kegiatan perdagangan mereka di kawasan timur semakin besar.
Pada abad VIII, para pedagang Arab sudah banyak dijumpai
di pelabuhan Negeri Cina. Diceritakan, pada tahun 758 M, Kanton merupakan salah
satu tempat tinggal para pedagang Arab. Pada abad IX, di setiap pelabuhan yang
terdapat di sepanjang rute perdagangan ke Cina, hampir dapat dipastikan
ditemukan sekelompok kecil pedagang Islam. Pada abad XI, mereka juga telah
tinggal di Campa dan menikah dengan penduduk asli, sehingga jumlah pemeluk
Islam di tempat itu semakin banyak. Namun, rupanya mereka belum aktif
berasimilasi dengan kaum pribumi sehingga penyiaran agama Islam tidak mengalami
kemajuan.
Sebagai salah satu bandar ramai di kawasan timur, Malaka
juga ramai dikunjungi oleh para pedagang Islam. Lambat laun, agama ini mulai
menyebar di Malaka. Dalam perkembangannya, raja pertama Malaka, yaitu
Prameswara akhirnya masuk Islam pada tahun 1406M.
Dengan masuknya raja ke dalam agama Islam, maka Islam kemudian menjadi agama
resmi di Kerajaan Malaka, sehingga banyak rakyatnya yang ikut masuk
Islam. Salatus Salatin, juga merekam dengan baik peristiwa ini dan menceritakan
bagaimana proses konversi Islam yang dialami Sultan Iskandar Muhammad Syah, di
mana Rasulullah hadir dalam mimpinya dan mengajarkannya mengucap syahadat.
Kedatangan seorang makhdum dari Jeddah yang bernama Syed Abdul Azis yang
diberitakan dalam mimpinya, dikisahkan keesokan harinya menjadi kenyataan. Dari
Syed inilah Sultan Iskandar Muhammad Syah dan rakyatnya mendalami Islam. Di negara Malaka yang terkenal sebagai pusat perdagangan
Internasional, para sultan turut mendukung proses islamisasi, dengan turut
meningkatkan pemahaman terhadap Islam dan berpatisipasi dalam pengembangan
Islam. Pemerintah memberikan kontribusi yang besar dalam mensukseskan kegiatan
dakwah. Sultan Malaka yang lebih dulu menganut islam misalnya,
dilukiskan oleh Tome Pires – sebagaimana dikutip oleh A.C. Milner – sebagai orang yang telah mengajarkan pengetahuan agama Islam kepada para
raja dari negara- negara Melayu lainnya karena pengetahuannya yang luas tentang
agama islam. Selain itu, para sultan Malaka – mulai dari sultan yang pertama –
begitu juga para pejabat pemerintah sangat berminat terhadap ajaran Islam.
Banyak di antara mereka yang berguru kepada ulama- ulama yang terkenal. Sebagai
contoh, sejarah melayu menyebutkan Sultan Muhammad Syah berguru kepada Maulana
Abdul Azis, Sultan Mansur Syah berguru kepada Kadi Yusuf dan Maulana Abu Bakar.
Sementara Sultan Mahmud Syah, Bendara Seri Maharaja, Megat Seri Rama dan Tunai
Mai Ulat Bulu berguru kepada Sadr Johan, begitu juga Sultan Ahmad yang belajar
ilmu tasawuf kepadanya. Kaum ulama saat itu sangat dihormati dan
dihargai. Kadi dan ahli fikih mempunyai kedudukan yang sama dengan pembesar
negara yang lain. Sebagai ilustrasi, Wahid mengemukakan contoh menarik mengenai
status tinggi yang dinikmati oleh para kadi dan sarjana Muslim ini. Katanya,
seorang guru agama dari Arab, bernama Makhdum Sadr Johan, bisa menolak untuk
mengajar penguasa Malaka, Sultan Mahmud Syah, ketika yang terahir ini
menandatangi ruang kelasnya dengan menunggang seekor gajah. Hal yang sama juga
terjadi pada Menteri Kepala (Bendahara), ketika yang terakhir ini datang ke
kelasnya sambil minum. Penguasa Malaka yang lain, Sultan Mansur Syah,
dikisahkan konon telah mencari nasihat keagamaan dari Makhdum Patajkan, sufi
‘alim yang sangat terkenal dari Pasai. Ini semua menunjukkan betapa para ulama
dihormati dan dihargai. Selain turut mendalami ajaran islam, para
sultan juga diceritakan turut meningkatkan syiar islam. Sejarah Melayu
menceritakan bahwa Ramadhan, Sultan bersama pembesar istana turut berangkat ke
mesjid melaksanakan shalat tarawih, di mana kala itu mesjid menjadi tumpuan
umat islam terutama pada bulan Ramadhan. Respon sultan dan rakyat Malaka yang antusias terhadap
kedatangan agama islam, pada gilirannya turut pula mengangkat posisi Malaka
sebagai pusat kegiatan dakwah. Selain rakyatnya menyebarkan dakwah ke luar
negeri, banyak pula orang luar yang datang ke Malaka untuk menuntut ilmu. Sunan
Bonang dan Sunan Kalijaga, dua ulama dari jawa yang begitu terkenal sebelumnya,
menamatkan pengajiannya di Malaka. Adalah melalui kekuasaan kerajaan Malaka,
Islamisasi kepulauan mendapat dorongan baru. Malaka menjadi salah satu pusat
kunci dari mana islam berkembang dari sepanjang pesisir ke wilayah- wilayah
seperti kepulauan Sulu di Filipina. Agaknya, luasnya pengaruh, kekuatan ekonomi
dan kejayaan Malaka telah memungkinkannya – sampai derajat tertentu – menjadi
pusat Islam pada saat itu. Kejayaan dan pengaruh Malaka yang begitu besar ini
diakui oleh Tome Pires yang ada pada awal abad ke- 16, mencatat bahwa “Malaka
begitu penting dan menguntungkan sehingga tampak bagi saya bahwa ia tidak ada
tandingannya di dunia”. Selain itu, Sejarah Melayu seperti halnya laporan dari
sumber- sumber Portugis maupun Cina, juga membicarakan dengan penuh semangat,
walaupun dengan agak berlebihan, mengenai kejayaan dan keluasan pengarih dan
kekuatan ekonomi Malaka, suatu pengaruh yang hanya dapat diimbangi oleh
kerajaan Majapahit yang berbasis di Jawa. Malaka tidak hanya menguasai beberapa
kerajaan yang telah masuk Islam seperi Aru, Pedir, dan Lambri, tetapi juga
menguasai daerah- daerah baru di Sumatera yang juga telah masuk Islam seperti
Kampar, Indragiri, Siak, Jambi, Bengkalis, dan Lingga. Di samping itu, di
Semenanjung Malaya, daerah seperti Pahang, Pattani, Kedah, Johor, serta daerah
lain yang telah menerima Islam juga mengakui kekuasaan kerajaan Malaka. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Islam telah menjadi unsur penting yang tidak terpisahkan
dari kehidupan Malaka, pusat kunci dari mana Islam menyebar ke seluruh bagian
lain di Nusantara. Sebagai pusat pengajian Islam, Malaka begitu peka terhadap
perkembangan Islam. Langkah para sultan yang menitikberatkan pada pelayanan
terhadap alim ulama memungkinkan Islam berkembang pesat. Sementara itu, Islam yang
mempunyai dasar filosofis dan rasional yang kuat, mempengaruhi berbagai aspek
kehidupan Melayu. Dalam kehidupan sehari- hari, ajaran Islam dan nilai yang
konsisten dengan Islam, menjadi sumber penuntun hidup yang penting bagi Melayu.
Selanjutnya,
Malaka berkembang menjadi pusat perkembangan agama Islam di Asia Tenggara,
hingga mencapai puncak kejayaan di masa pemeritahan Sultan Mansyur Syah
(1459—1477). Kebesaran Malaka ini berjalan seiring dengan perkembangan agama
Islam. Negeri-negeri yang berada di bawah taklukan Malaka banyak yang memeluk
agama Islam. Untuk mempercepat proses penyebaran Islam, maka dilakukan
perkawinan antarkeluarga.
Malaka
juga banyak memiliki tentara bayaran yang berasal dari Jawa. Selama tinggal di
Malaka, para tentara ini akhirnya memeluk Islam. Ketika mereka kembali ke Jawa,
secara tidak langsung, mereka telah membantu proses penyeberan Islam di tanah
Jawa. Dari Malaka, Islam kemudian tersebar hingga Jawa, Kalimantan Barat,
Brunei, Sulu dan Mindanau (Filipina Selatan).
2.5. Kehancuran
Mahmud Syah memerintah Malaka sampai tahun
1511, saat ibu kota kerajaan tersebut diserang pasukan Portugis di bawah
pimpinan Alfonso de Albuquerque. Serangan dimulai pada 10 Agustus 1511 dan
berhasil direbut pada 24 Agustus 1511. Sultan Mahmud Syah melarikan diri ke
Bintan dan mendirikan ibukota baru di sana. Pada tahun 1526 Portugis
membumihanguskan Bintan, dan Sultan kemudian melarikan diri ke Kampar, tempat
dia wafat dua tahun kemudian. Usia Malaka ternyata cukup pendek, hanya satu
setengah abad. Sebenarnya, pada tahun 1512, Sultan Mahmud Syah yang dibantu
Dipati Unus menyerang Malaka, namun gagal merebut kembali wilayah ini dari
Portugis. Sejarah Melayu tidak berhenti sampai di sini. Sultan Melayu segera
memindahkan pemerintahannya ke Muara, kemudian ke Pahang, Bintan Riau, Kampar,
kemudian kembali ke Johor dan terakhir kembali ke Bintan. Begitulah, dari
dahulu bangsa Melayu ini tidak dapat dipisahkan. Kolonialisme Baratlah yang
memecah belah persatuan dan kesatuan Melayu.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Jadi, Kesultanan Malaka (1402-1511) adalah sebuah kesultanan
yang didirikan oleh Parameswara, seorang putra Melayu dari silsilah raja-raja
Sriwijaya. Parameswara sendiri sebelumnya adalah Raja di Tumasik (Singapura)
yang pada tahun 1401 mengungsi ke Utara (Melaka) akibat serangan Majapahit. Dan
untuk memperkuat kerajaan barunya ia melakukan beberapa keputusan penting
diantaranya melakukan perjanjian dengan kerajaan Ming dari Cina pada tahun
1403. Sebagai balasan upeti yang diberikan, Kekaisaran Cina menyetujui untuk
memberikan perlindungan pada kerajaan baru tersebut terutama dari serangan
Majapahit dan Siam.
Disamping itu Parameswara menikahi putri Pasai, sehingga
menambah kokoh kerajaan baik secara militer maupun ekonomi. Laporan dari
kunjungan Laksamana Cheng Ho pada 1409 menyiratkan bahwa pada saat itu
Parameswara masih berkuasa, raja dan rakyat Melaka sudah menjadi muslim.
Di bawah Parameswara, Kesultanan Malaka menjadi menjadi
kerajaan yang makmur ditambah dengan kekuatan militernya yang semakin
berkembang. Adapun Panglima tertinggi yang
ditunjuk
adalah Panglima Tuan Junjungan serta si kembar Panglima Bagus Karang dan
Panglima Bagus Sekuning. Dan tak ketinggalan juga jasa seorang laksamana
angkatan laut yang 'berjaya' bernama Hang Tuah yang terkenal dengan
sumpahnya, "Ta' Melayu Hilang di-Dunia"
Pada tahun 1414 Parameswara wafat dan digantikan
putranya, Megat Iskandar Syah. Ia memerintah selama 10 tahun, dan kemudian
digantikan oleh Muhammad Syah. Putra Muhammad Syah yang kemudian
menggantikannya adalah Raja Ibrahim. Namun masa pemerintahannya hanya 17 bulan,
dan dia mangkat karena terbunuh pada 1445. Saudara seayahnya, Raja Kasim,
kemudian menggantikannya dengan gelar Sultan Mudzaffar Syah atau Sultan Malaka
V.
Di bawah pemerintahan Sultan Mudzaffar Syah, Malaka
melakukan ekspansi di Semenanjung Malaya dan pantai timur Sumatera (Kampar dan
Indragiri). Di kemudian hari secara politik, Kesultanan Malaka membangun
hubungan yang baik namun hati-hati dengan Jawa (Majapahit) maupun Siam.
Pada masa pemerintahan raja berikutnya yang naik tahta
pada tahun 1459, Sultan Mansur Syah (Sultan Malaka VI), Malaka menyerbu Kedah
dan Pahang, dan menjadikannya negara vassal. Di bawah sultan yang sama Johor,
Jambi, Siak dan kepulauan Riau-Lingga juga takluk.
Dengan demikian Malaka mengendalikan sepenuhnya kedua
pesisir yang mengapit Selat Malaka. Jatuhnya Siak dibawah pengaruh Malaka
mengakibatkan Malaka dapat mempengaruhi perdagangan emas di hampir seluruh
semenanjung Melayu.
3.2 Kritik dan Saran
Mungkin dalam pembuatan makalah yang kami buat banyak
kekurangan dan kesalahan, maka dari itu penulis bersedia menerima saran maupun
kritik demi perbaikan selanjutnya.
0 Komentar untuk "Makalah " kerajaan malaka""